Btw, sebagai permulaan, kalo saya baca lagi tulisan saya dulu, sangat berapi-api yaj. 😀
Beberapa kali mau posting tulisan, adaaa aja hambatannya. Ini saya share tulisan saya di tahun 2021 yang belum sempat dipublish. Kalo dipikir-pikir, apa pun isinya, penting juga ya sebagai bukti sejarah tentang kondisi kita di masa itu. Apalagi waktu itu baru2 nikah. Accie. Okelah, ini saya terusin aja dan ada juga yang diambil dari Notes HP.
——————–
Percaya ga, tahun 2009 alias 12 tahun yang lalu, saya pernah buat postingan dengan judul yang sama. That’s why it’s added with “Part 2” to differentiate with the previous one. Emang apa sih bedanya, Jol? Segitunya sampe kamu harus bikin sekuelnya? 😀
Mungkin ini terkesan biasa aja, tapi buat aku ini sesuatu. Di tahun 2009 itu, aku masih kuliah tingkat 3 (or maybe younger) dan baru menyadari adanya “pembedaan” suku yang mungkin buat sebagian orang hal tersebut sangat sangat sensitif. Sampel yang saya ambil ketika itu hanya sebatas suku dari daerah Jawa (khususnya Jawa dan Sunda) dan suku dari daerah Sumatra (khususnya Minang). Mengapa? Karena keduanya yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari dan lingkungan saya saat itu. Di luar ekspektasi, ternyata postingan tersebut menimbulkan banyak komen bernada negatif untuk penilaian masing-masing suku. Kalo boleh saya tekankan, sangat, sangat negatif. Sampai2 saya harus menghapus sementara postingan tersebut. Sungguh ini membukakan kacamata saya tentang masyarakat kita yang notabene katanya mengaku Bhinneka Tunggal Ika.
Lalu, 12 tahun berselang, dan kini saya sudah menikah…….dengan orang Minang. 😛
Terlepas dari yang kata orang namanya “ketulah” atau apa, atau mungkin karena sekeliling saya juga banyak yang berasal dari Suku Minang maupun suku lainnya, justru ketika dulu saya berangan-angan tentang jodoh, kalo boleh memilih, sebisa mungkin BUKAN dari satu suku. Karena saya sendiri pun banyak yang mengira bukan berasal dari Tanah Jawa. Maksudnya apa? Saya ga ada lembut2nya, gitu? 😛
Namun saya akui, suami saya ini justru lebih lembut daripada saya. Dia tahu bagaimana mencairkan suasana ketika mengobrol dengan orang baru yang mana sebaliknya saya lebih kaku dalam hal itu. Intinya, dia lebih beradab lah daripada saya yang ga punya adab ini, hahahaa…
Jadi inget ketika dulu saya masih mempertanyakan konsep “menikah karena Allah & menikah karena ibadah”. Maksudnya ga pake cinta, gitu? Emang bisa?
Sebelum nikah, banyak sekali yang kami bahas, secara sayanya juga banyak pertanyaan di kepala “kenapa begini kenapa begitu”.
Misal:
“Kenapa sih mau sama aku, kan udah tau akunya cerewet, suka marah2, nyebelin…?“
Trus, apa cobak jawaban dia? Kurang lebihnya gini:
“Kalo sama cewek lain bisa jadi dianya ga cerewet, ga gampang marah2, tapi pasti ada kekurangan yang lainnya yang kita belum tau apa. Sampai saat ini sih itu bukan permasalahan yang besar buat aku ya.”
Sering sekali kami berdiskusi walopun ga berasa karena dilakukan dengan santai sambil ngobrol. Pastinya banyak perspektif karena background pendidikan, daerah tempat tinggal, suku, pengalaman, dll juga sangat berbeda. Tentang poligami, tentang positioning pemimpin, tentang Habib Rizieq, tentang finansial, tapi lagi2 kita kembalikan ke Islam. Thx to Fitri “Penerbangan” yang sudah membahasakan tentang perbedaan madzhab dengan sangat sangat sangat baik (ehem, doi konsultan pribadi saya yang masya Allah kedalaman ilmu agamanya luar biasa walopun ga keliatan :p).
Minta sama Allah yang kita mau, Allah berikan yang terbaik versi-Nya. Qadarullah semua yang saya minta walopun listnya panjang alhamdulillah ada di dia semua, bahkan jauh lebih baik daripada yang diminta. Yaa…namanya juga minta pasangan, pasti nyari yang ada “pas”-nya, soalnya kalo ga cuma jadi “angan” (pas-angan, okesip).
Honestly, sebelum nikah, saya ga cinta2 amat sama Si Abang. Tapi saya coba membaca sinyal jodoh (kalo kata Ust. Khalid Basalamah mah). Kesabarannya adalah koentji (sampe sekarang sih ini). Yaaah…namanya juga wanita, “Tapi kan, aku sukanya sama si itu.”
Kini ku mengerti ternyata salah satu jawaban istikharah adalah dimudahkannya segala urusan ke arah yang Allah kehendaki dan dibukakan segala jalannya menuju ke situ dan yakinlah bahwa itu yang terbaik terindah dan paling sesuai dengan kita. Singkat cerita, yang dulunya ga cinta2 amat, sejak menikah Allah yang berikan kasih sayang-Nya ampe saya bisa dibilang bucin. Pe-er sekarang: jangan ampe mencintai manusia yang satu itu melebihi cinta kamu sama Allah ya, Vin (nahloh).
Trus, pernah berantem ga?
Menurut ngana. Namanya juga wanita, apalagi Si Joli, fluktuasi hormonnya kadang bikin kita jadi ga kenal dengan diri kita sendiri. Yagasi. Tapi ujung2nya nih, kalo mau coba connecting dots, saya yang bikin dosa sama suami, saya juga yang kena batunya. Biasanya waktunya ga jauh tuh…
Misal: pernah sekali ada tikus masuk. Tikus, binatang yang menjijikkan kan? Alhamdulillah udah berhasil dikeluarin sih dan sejak saat itu udah ga pernah ada lagi. Semoga ga akan pernah yah. Kecoa juga, ada kejadian traumatis yang bikin saya males cerita ini gegara baunya.
Itulah. Intinya saya selalu mencoba membaca tanda2 alam karena seluruh isi dunia ini adalah bala tentara Allah Yang Maha Kuasa. Apa pun amanah yang sedang kita jalani, pasti akan ada hisabnya, baik secara langsung atau nanti di akhirat.
Udah ah itu dulu aja. Kapan2 kita cerita tentang Si Kecil yaj. 😉